Home » » Zakat dan Pajak dalam Pandangan Islam (1)

Zakat dan Pajak dalam Pandangan Islam (1)

Written By BMH Situbondo on Jumat, 11 April 2014 | 10.14



Zakat dan pajak, meski keduanya sama-sama merupakan kewajiban dalam bidang harta, namun keduanya mempunyai falsafah yang khusus, dan keduanya berbeda sifat dan asasnya, berbeda sumbernya, sasaran, bagian serta kadarnya, disamping berbeda pula mengenai prinsip, tujuan dan jaminannya. Sesungguhnya ummat Islam dapat melihat bahwa zakat tetap menduduki peringkat tertinggi dibandingkan dengan hasil pemikiran keuangan dan perpajakan zaman modern, baik dari segi prinsip maupun hukum-hukumnya.
Untuk Bagian terakhir ini Yusuf Al Qardhawi menjelaskan sangat detil dalam 8 bab:
Hakikat Pajak dan Zakat
Pajak ialah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai  dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara dan hasilnya untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umumdi satu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai negara.
Zakat ialah hak tertentu yang diwajibkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap kaum Muslimin yang diperuntukkan bagi mereka, yang dalam Quran disebut kalangan fakir miskin dan mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan untuk mendekatkan diri kepadaNya, serta untuk membersihkan diri dan hartanya.
Dapat dipetik beberapa titik persamaan antara zakat dan pajak:
  1. Adanya unsur paksaan untuk mengeluarkan
  2. Keduanya disetorkan kepada lembaga pemerintah (dalam zakat dikenal amil zakat)
  3. Pemerintah tidak memberikan imbalan tertentu kepada si pemberi.
  4. Mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan politik disamping tujuan keuangan.
Adapun segi perbedaannya:
  1. Dari segi nama dan etiketnya yang memberikan motivasi yang berbeda. Zakat: suci, tumbuh. Pajak (dharaba): upeti.
  2. Mengenai hakikat dan tujuannya Zakat juga dikaitkan dengan masalah ibadah dalam rangka pendekatan diri kepada Allah.
  3. Mengenai batas nisab dan ketentuannya. Nisab zakat sudah ditentukan oleh sang Pembuat Syariat, yang tidak bisa dikurangi atau ditambah-tambahi oleh siapapun juga. Sedangkan pada pajak bisa hal ini bisa berubah-ubah sesuai dengan polcy pemerintah.
  4. Mengenai kelestarian dan kelangsungannya, Zakat bersifat tetap dan terus menerus, sedangkan pajak bisa berubah-ubah.
  5. Mengenai pengeluarannya, Sasaran zakat telah terang dan jelas. Pajak untuk pengeluaran umum negara.
  6. Hubungannya dengan penguasa, hubungan wajib pajak sangat erat dan tergantung kepada penguasa. Wajib zakat berhubungan dengan Tuhannya. Bila penguasa tidak berperan, individu bisa mengeluarkannya sendiri-sendiri.
  7. Maksud dan tujuan, zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak.
Berdasarkan point-point di atas dapatlah dikatakan bahwa “zakat adalah ibadat dan pajak sekaligus”. Karena sebagai pajak, zakat merupakan kewajiban berupa harta yang pengurusannya dilakukan oleh negara. Negara memintanya secara paksa, bila seseorang tidak mau membayarnya sukarela, kemudian hasilnya digunakan untuk membiayai proyek-proyek untuk kepentingan masyarakat.
Apa yang coba diterangkan dalam masalah perpajakan dewasa ini telah dilaksanakan Islam jauh sebelumnya. Inilah syariat yang berasal dari Pembuat Syariat yang Maha Tahu. Berikut ini adalah salah satu bab dalam buku Yusuf Al Qardhawi yang mengupas hal tersebut.
Prinsip Keadilan Antara Pajak dan Zakat
Para ahli ekonomi keuangan menyerukan agar dalam masalah perpajakan hendaknt tetap memegang prinsip dan kaedah yang dapat menghalangi timbulnya penipuan dan kecurangan sehingga menepati prinsip keadilan, disamping itu dapat mencapai sasaran yang tepat dengan tidak memberatkan pihak wajib pajak disatu segi dan pihak pelaksana administrasi keuangan di sisi lain. Hal ini ternyata sudah diterapkan Islam dalam mekanisme zakat jauh sebelumnya.
Dikenal empat prinsip yang mesti diperhatikan dalam soal perpajakan, yaitu: keadilan, kepastian, kelayakan dan ekonomis.
Tentang Keadilan
Ini merupakan prinsip pertama yang wajib diperhatikan dalam setiap pajak yang dikenakan pada masyarakat. Prinsip yang sesuai dengan syariat Islam, dimana Islam menuntutnya dalam segala hal. Prinsip keadilan ini dijumpai pada:
  1. Sama rata dalam kewajiban zakat. Setiap Muslim yang mempunyai satu nisab zakat adalah wajib zakat tanpa memandang bangsa, warna kulit, keturunan atau kedudukan dalam masyarakat, laki-laki, perempuan, pemerintah, yang diperintah, pemimpin agama, pemimpin negara, semua sama.
  2. Membebaskan harta yang kurang dari nisab
  3. Larangan berzakat dua kali. Banyak hadits yang menerangkan larangan ini. Dalam studi perpajakan dikenal dengan nama: “Larangan Pajak Ganda”.
  4. Besar zakat sebanding dengan besar tenaga yang dikeluarkan. Semakin mudah memperoleh, semakin besar zakatnya, seperti halnya zakat pertanian ada yang 10% dan 5%.  Prinsip ini masih belum begitu dihiraukan oleh para ahli keuangan.
  5. Memperhatikan kondisi dalam pembayaran. Dengan juga memperhatikan besarnya pendapatan, beban keluarga, hutang-hutang yang dimiliki, dipungut dari pendapatan bersih, dan lain-lain.
  6. Keadilan dalam praktek. Islam memberikan perhatian istimewa dan hati-hati terhadap pelaksana pemungut zakat (amil), yaitu dengan persyaratan yang tinggi untuk menjadi amil, dan posisi yang mulia bagi mereka, seperti hadits sebagai berikut: “Orang yang bekerja memungut sedekah dengan benar adalah seperti orang yang berperang di jalan Allah” (Hadits shahih).
Tentang Kepastian
Pengetahuan para subjek pajak tentang kewajiban-kewajibannya hendaklah pasti, tak boleh ada keraguan sedikitpun, sebab ketidakpastian dalam sistem pajak apapun sangat membahayakan bagi tegaknya keadilan dalam distribusi beban pajak. Kepastian itu sangat erat hubungannya dengan kestabilan pajak. Dalam mekanisme zakat tidak diragukan lagi bahwa kaidah ini sangat jelas.
Tentang Kelayakan
Kesimpulan prinsip ini ialah menjaga perasaan wajib pajak dan berlaku sopan terhadap mereka, sehingga dengan sukarela mereka akan menyerahkan pajak itu tanpa ada rasa ragu dan terpaksa karena suatu perlakuan yang kurang baik.
Dalam zakat hal ini sudah mendapat perhatian seperti halnya:
  • Perintah untuk memungut zakat dari harta yang kualitasnya pertengahan dan melarang memungut yang terbaik, misalnya ternak.
  • Nabi menyuuruh tukang taksir agar memperkecil taksiran terhadap tanaman dan buah-buahan.
  • Bolehnya menangguhkan zakat karena ada satu sebab yang menghalangi, misalnya ketika terjadi wabah kelaparan.
  • Dan lain-lain.
Tentang Faktor Ekonomis
Yang dimaksudkan disini adalah ekonomis dalam biaya pemungutan pajak dan menjauhi berbagai pemborosan. Jangan sampai bagian besar dari pajak yang terkumpul hanya habis terserap oleh petugas pajak. Islam sangat melarang pemborosan kepada harta pribadi seseorang, apalagi terhadap harta kepunyaan umum terutama lagi terhadap harta zakat. Diceritakan, bagaimana para petugas zakat berangkat untk mengumpulkan zakat, yang lalu dibagikan kepada yang berhak, sehingga ketika mereka pulang pun mereka tidak membawa apa-apa lagi. Jatah untuk para amilpun di batasi (maksimal 1/8 bagian). Bersambung kebagian Dua
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : BMH Situbondo | PD Hidayatullah Situbondo | LPI Al-Amin
Copyright © 2014. Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Situbondo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger