Marhaban ya,
Romadhon, marhaban! Sebentar lagi Romadhon akan segera mengunjungi kita. Bulan
ini akan kembali menjadi tamu istimewa bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Romadhon
memang selalu berulang setiap tahun. Namun dalam setiap pengulangan itu pula,
kaum muslimin senantiasa mengambil sikap yang berbeda-beda. Setidaknya sikap
mereka terangkum dalam tiga kelompok besar,
yaitu:
Sikap pertama: Muslim yang sudah mempersiapkan diri menghadapi
Romadhon sejak dua bulan sebelumnya atau bahkan lebih. Mereka hadir menyambut
Romadhon dengan bekal penuh dan motivasi yang tinggi. Mereka sadar bahwa
Romadhon adalah gelanggang ujian iman bagi setiap mukmin. Mereka telah
menyiapkan ilmunya, agar puasanya tidak sekedar menahan haus dan lapar. Mereka
juga menyiapkan fisiknya agar bisa banyak beribadah dan membaca al Qur’an.
Persiapan yang tidak kalah pentingnya adalah menyiapkan harta untuk ia infaqkan
sebanyak-banyaknya di bulan Romadhon.
Sikap kedua: Muslim yang baru tersadar ketika Romadhon sudah di
depan mata. Mereka tergopoh-gopoh mensikapi Romadhon. Bekal yang mereka bawa
ketika memasuki Romadhon sangat pas-pasan, bahkan sering kehabisan bekal.
Akhirnya sebagian besar dari mereka gagal menghadapi ujian yang tersaji di
bulan tersebut. Puasa yang dilakukan hanya sebagai rutinitas tahunan dan hanya
sebatas menahan lapar dan haus, mulai waktu sahur hingga Maghrib tiba.
Ibadahnya tidak bertambah kualitas dan kuantitasnya. Semua serba monoton dan
berjalan seperti bulan-bulan yang lain yang bukan Romadhon. Pada hari-hari
pertama bulan Romadhon, mereka aktif mengikuti tarawih, dan jama’ah sholat lima waktu.
Namun masuk
hari ke-lima dan seterusnya mereka sudah kehabisan energi, lalu satu persatu
mulai meninggalkan masjid hingga akhir Romadhon. Membaca Al Qur’an pun diakhiri
hingga juz satu, berikutnya lidah sudah terasa kelu dan berat untuk melafazdkan
ayat-ayat dalam al Qur’an. Menjelang Romadhon usai, mereka banyak memenuhi
mall-mall dan pusat perbelanjaan lainnya. Akhir Romadhon yang semestinya
dipakai untuk lebih banyak i’tikaf, justru dipakai untuk acara belanja sebagai
persiapan pesta Iedul fitri.
Sikap ketiga: Muslim yang menganggap sama saja antara bulan
Romadhon dengan bulan yang lainnya. Tak ada persiapan sedikitpun yang mereka
lakukan. Puasa yang dilakukan terasa sebagai beban yang sangat berat. Walaupun,
kemudian mereka berpuasa, hal itu mereka lakukan hanya sebagai syarat agar
tidak malu ketika ikut merayakan Iedul fitri. Alhasil, sekalipun mereka
berpuasa, mereka tidak juga melaksanakan sholat sebagaimana hari-hari di luar
Romadhon.
Bahkan sebagian mereka
enggan menunaikan puasa dengan berjuta alasan yang telah ia siapkan. Wajar saja
jika akhirnya mereka tidak malu melahap makanan di warung-warung, yang sudah
tidak sungkan lagi buka di siang hari bulan Romadhon.
Sikap kedua dan ketiga
senantiasa terulang setiap tahunnya. Bahkan semakin lama semakin banyak saja
yang melakukan. Semoga kita bukan salah satu diantaranya!
Idealitas Romadhon
Muslim yang
benar keislamannya, akan menyambut
kedatangan bulan Romadhon dengan gembira dan suka cita, sebagaimana kegembiraan
kaum mukminin tatkala menerima rizqi,
karunia, dan rahmat Allah. Ia akan menyambut kedatangan Romadhon laksana
menyambut tamu agung yang sudah lama diidam-idamkan. Ia melepas semua aktifitas
untuk kemudian berkonsentrasi menyambut kedatangan bulan yang suci tersebut. Ia
beristirahat sejenak dari kepenatan hidup, kemudian membekali diri, dan memperbaharui semangatnya
untuk meraih predikat taqwa.
Di bulan
Romadhon, seharusnya dimanfaatkan untuk melakukan sholat malam lebih khusu’ dan
lebih lama. Kita harus sadar bahwa
peningkatan amaliah Romadhon merupakan bekal yang tak terhingga. Semestinya
juga kita membiasakan jiwa untuk tidak
merasa berat melaksanakan ibadah dan sabar dalam menjalaninya. Lebih ideal lagi
jika setiap muslim berusaha menikmati cita rasa ibadah, membiasakan diri berhubungan
secara terus-menerus dengan Allah, mendekatkan diri kepada-Nya, tunduk dan
khusu’ kepada-Nya.
Bagi kita yang pada usia 10 tahun telah dididik puasa, maka jika
usia kita saat ini telah mencapai 50 tahun, berarti kita telah 40 kali melakukan
ibadah puasa Romadhon. Begitu juga bagi yang telah berumur 40 tahun, maka kita
telah melakukan puasa Romadhon selama 30 kali. Namun, perubahan apa yang telah
kita dapatkan setelah sekian kali menunaikan puasa Romadhon. Adakah amal ibadah
kita semakin baik atau sama seperti tahun sebelumnya; atau bahkan bisa jadi
lebih buruk dari tahun sebelumnya.
Butuh
ilmu (pemahaman)
Puasa adalah gelanggang ujian, atau
lebih tepat disebut sebagai medan pertempuran. Pertempuran antara kepentingan
hawa nafsu dengan perintah untuk taat dan tunduk kepada Allah. Jika kita buta
terhadap medan pertempuran tersebut, maka bisa jadi kita akan menjadi
bulan-bulanan hawa nafsu dan bisikan syaithon. Karena itu dibutuhkan bekal
pengetahuan tentang Romadhon. Kita harus paham terhadap segenap peraturan yang
ada pada Romadhon; baik terkait dengan hal-hal yang membatalkan puasa,
disunnahkan, dimakruhkan, atau hal-hal yang diharamkan.
Tidak kalah pentingnya adalah
pengetahuan dan pemahaman dalam mendidik dan menata hati. Biasanya pada bulan
Romadhon dorongan untuk melakukan hal-hal yang haram atau sia-sia justru datang
bertubi-tubi. Bisikan untuk melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sering
hinggap di kepala kita. Karena itu penting bagi kita untuk mempelajari
penyakit-penyakit hati, dengan banyak membaca buku tentang tazkiyah an nufus
(penyucian hati). Penting juga menghadiri majlis-majlis taklim yang mengkaji al
Qur’an dan hadits.
Dengan pengetahuan ini
setidaknya kita mampu mengukur kekuatan kita, sehingga selalu berhati-hati dan
penuh perhitungan dalam menjalani ibadah puasa. Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan Abu Hurairoh disebutkan; “Barang siapa melaksanakan puasa Romadhon
dengan dilandasi keimanan dan perhitungan (mengharap pahala), maka akan
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Muslim).
Pengetahuan tentang Romadhon juga sangat
penting untuk menghilangkan keraguan. Ia sangat penting untuk menanamkan
keyakinan tentang puasa yang sedang kita kerjakan.
Butuh keikhlasan dan kesabaran
Bukankah puasa
merupakan rahasia antara hamba dengan Tuhannya? Karena itu puasa akan
benar-benar berkualitas, jika dilandasi keikhlasan niat kepada Allah dan merasa
selalu dipantau olehnya. Bahkan keikhlasan merupakan bekal yang paling
dibutuhkan oleh setiap muslim dalam beramal apapun. Suatu amal atau kepayahan
seseorang tidak ada manfaatnya bila sunyi dari keikhlasan. Allah tidak butuh
pada amalan yang riya’ dan tidak akan menerima amal kecuali yang diniatkan
ikhlas karena-Nya. Allah berfirman dalam QS. Al Bayyinah ayat 5; “Padahal
mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata
karena menjalankan agama, dan juga agar melaksanakan sholat dan menunaikan
zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
Di samping itu
puasa juga harus dilandasi sifat sabar. Kesabaran merupakan sifat yang paling
dibutuhkan semua orang dalam menghadapi medan ujian ini. Dengannya manusia
dapat mengatasi segala rintangan dan meneruskan perjalanan penghambaannya tanpa
kelemahan dan kelesuan. Allah berfirman: “Dan mohonlah pertolongan (kepada
Allah) dengan sabar dan sholat….(Al Baqoroh: 45)
Dengan dua
senjata ini maka seseorang yang berpuasa akan dapat mendidik dan membimbing jasad
dan jiwanya untuk selalu tunduk kepada Allah dan mengesampingkan
kepentingan-kepentingan lainnya yang tidak diridhoi Allah. Dengan demikian, puasa
yang dilakukan tidak hanya sekedar menahan diri dari syahwat perut dan kemaluan,
namun juga menjauhkan seluruh anggota badan dari segala yang diharamkan oleh
Allah swt. Matanya berpuasa dengan tidak melihat sesuatu yang diharamkan oleh
Allah. Telinganya berpuasa dengan tidak mendengarkan ucapan-ucapan yang tidak
bermanfaat dan dusta. Lisannya berpuasa dengan tidak mengucapkan kata-kata
kotor, ghibah dll. Tangan dan kakinya berpuasa dengan tidak mendatangi
tempat-tempat maksiyat. Begitu pula hati berpuasa dengan menghilangkan rasa
dengki, iri, dendam dan penyakit hati lainnya. Initnya, seluruh jasad dan jiwa ikut
berpuasa menyertai puasanya mulut dan kemaluan. Ini merupakan aspek tarbawi
(pendidikan) yang amat penting dalam pribadi muslim.
Senjata
keikhlasan dan kesabaran juga menumbuhkan sifat santun (tidak mudah marah)
terhadap orang-orang yang biasa mengganggu (jahil). Bila seseorang
menantangnya, mencelanya, atau memancing kemarahannya, maka ia menahan
amarahnya, berlaku santun dan mengatakan: ”Sesungguhnya
saya sedang berpuasa”.
Akhirnya,
marilah kita bersiap diri, selagi awal Romadhon masih beberapa hari lagi. Masih
ada waktu untuk mengumpulkan bekal. Masih ada waktu untuk bermuhasabah dan
merenungi betapa amal sholeh kita selama ini masih sangat sedikit. Walaupun
kesadaran semacam ini baru muncul, maka tidak ada kata terlambat untuk segera
memulai. Semoga Allah menguatkan hati kita dan menunjukkan jalan yang lurus
kepada kita. Amin!
Posting Komentar