Home » » Siaga Menghadapi Ujian Ramadhan

Siaga Menghadapi Ujian Ramadhan

Written By BMH Situbondo on Selasa, 15 April 2014 | 16.57


Marhaban ya, Romadhon, marhaban! Sebentar lagi Romadhon akan segera mengunjungi kita. Bulan ini akan kembali menjadi tamu istimewa bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Romadhon memang selalu berulang setiap tahun. Namun dalam setiap pengulangan itu pula, kaum muslimin senantiasa mengambil sikap yang berbeda-beda. Setidaknya sikap mereka terangkum dalam tiga kelompok besar,  yaitu:

Sikap pertama: Muslim yang sudah mempersiapkan diri menghadapi Romadhon sejak dua bulan sebelumnya atau bahkan lebih. Mereka hadir menyambut Romadhon dengan bekal penuh dan motivasi yang tinggi. Mereka sadar bahwa Romadhon adalah gelanggang ujian iman bagi setiap mukmin. Mereka telah menyiapkan ilmunya, agar puasanya tidak sekedar menahan haus dan lapar. Mereka juga menyiapkan fisiknya agar bisa banyak beribadah dan membaca al Qur’an. Persiapan yang tidak kalah pentingnya adalah menyiapkan harta untuk ia infaqkan sebanyak-banyaknya di bulan Romadhon.

Sikap kedua: Muslim yang baru tersadar ketika Romadhon sudah di depan mata. Mereka tergopoh-gopoh mensikapi Romadhon. Bekal yang mereka bawa ketika memasuki Romadhon sangat pas-pasan, bahkan sering kehabisan bekal. Akhirnya sebagian besar dari mereka gagal menghadapi ujian yang tersaji di bulan tersebut. Puasa yang dilakukan hanya sebagai rutinitas tahunan dan hanya sebatas menahan lapar dan haus, mulai waktu sahur hingga Maghrib tiba. Ibadahnya tidak bertambah kualitas dan kuantitasnya. Semua serba monoton dan berjalan seperti bulan-bulan yang lain yang bukan Romadhon. Pada hari-hari pertama bulan Romadhon, mereka aktif mengikuti tarawih,  dan jama’ah sholat lima waktu. 

Namun masuk hari ke-lima dan seterusnya mereka sudah kehabisan energi, lalu satu persatu mulai meninggalkan masjid hingga akhir Romadhon. Membaca Al Qur’an pun diakhiri hingga juz satu, berikutnya lidah sudah terasa kelu dan berat untuk melafazdkan ayat-ayat dalam al Qur’an. Menjelang Romadhon usai, mereka banyak memenuhi mall-mall dan pusat perbelanjaan lainnya. Akhir Romadhon yang semestinya dipakai untuk lebih banyak i’tikaf, justru dipakai untuk acara belanja sebagai persiapan pesta Iedul fitri.

Sikap ketiga: Muslim yang menganggap sama saja antara bulan Romadhon dengan bulan yang lainnya. Tak ada persiapan sedikitpun yang mereka lakukan. Puasa yang dilakukan terasa sebagai beban yang sangat berat. Walaupun, kemudian mereka berpuasa, hal itu mereka lakukan hanya sebagai syarat agar tidak malu ketika ikut merayakan Iedul fitri. Alhasil, sekalipun mereka berpuasa, mereka tidak juga melaksanakan sholat sebagaimana hari-hari di luar Romadhon.

Bahkan sebagian mereka enggan menunaikan puasa dengan berjuta alasan yang telah ia siapkan. Wajar saja jika akhirnya mereka tidak malu melahap makanan di warung-warung, yang sudah tidak sungkan lagi buka di siang hari bulan Romadhon.

Sikap kedua dan ketiga senantiasa terulang setiap tahunnya. Bahkan semakin lama semakin banyak saja yang melakukan. Semoga kita bukan salah satu diantaranya!

Idealitas Romadhon
Muslim yang benar  keislamannya, akan menyambut kedatangan bulan Romadhon dengan gembira dan suka cita, sebagaimana kegembiraan kaum mukminin tatkala menerima  rizqi, karunia, dan rahmat Allah. Ia akan menyambut kedatangan Romadhon laksana menyambut tamu agung yang sudah lama diidam-idamkan. Ia melepas semua aktifitas untuk kemudian berkonsentrasi menyambut kedatangan bulan yang suci tersebut. Ia beristirahat sejenak dari kepenatan hidup, kemudian  membekali diri, dan memperbaharui semangatnya untuk meraih predikat taqwa.

Di bulan Romadhon, seharusnya dimanfaatkan untuk melakukan sholat malam lebih khusu’ dan lebih lama. Kita harus  sadar bahwa peningkatan amaliah Romadhon merupakan bekal yang tak terhingga. Semestinya juga kita  membiasakan jiwa untuk tidak merasa berat melaksanakan ibadah dan sabar dalam menjalaninya. Lebih ideal lagi jika setiap muslim berusaha menikmati cita rasa ibadah, membiasakan diri berhubungan secara terus-menerus dengan Allah, mendekatkan diri kepada-Nya, tunduk dan khusu’ kepada-Nya.

Bagi kita yang pada  usia 10 tahun telah dididik puasa, maka jika usia kita saat ini telah mencapai 50 tahun, berarti kita telah 40 kali melakukan ibadah puasa Romadhon. Begitu juga bagi yang telah berumur 40 tahun, maka kita telah melakukan puasa Romadhon selama 30 kali. Namun, perubahan apa yang telah kita dapatkan setelah sekian kali menunaikan puasa Romadhon. Adakah amal ibadah kita semakin baik atau sama seperti tahun sebelumnya; atau bahkan bisa jadi lebih buruk dari tahun sebelumnya.

Butuh ilmu (pemahaman)
Puasa adalah gelanggang ujian, atau lebih tepat disebut sebagai medan pertempuran. Pertempuran antara kepentingan hawa nafsu dengan perintah untuk taat dan tunduk kepada Allah. Jika kita buta terhadap medan pertempuran tersebut, maka bisa jadi kita akan menjadi bulan-bulanan hawa nafsu dan bisikan syaithon. Karena itu dibutuhkan bekal pengetahuan tentang Romadhon. Kita harus paham terhadap segenap peraturan yang ada pada Romadhon; baik terkait dengan hal-hal yang membatalkan puasa, disunnahkan, dimakruhkan, atau hal-hal yang diharamkan.

Tidak kalah pentingnya adalah pengetahuan dan pemahaman dalam mendidik dan menata hati. Biasanya pada bulan Romadhon dorongan untuk melakukan hal-hal yang haram atau sia-sia justru datang bertubi-tubi. Bisikan untuk melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sering hinggap di kepala kita. Karena itu penting bagi kita untuk mempelajari penyakit-penyakit hati, dengan banyak membaca buku tentang tazkiyah an nufus (penyucian hati). Penting juga menghadiri majlis-majlis taklim yang mengkaji al Qur’an dan hadits.

Dengan pengetahuan ini setidaknya kita mampu mengukur kekuatan kita, sehingga selalu berhati-hati dan penuh perhitungan dalam menjalani ibadah puasa. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairoh disebutkan; “Barang siapa melaksanakan puasa Romadhon dengan dilandasi keimanan dan perhitungan (mengharap pahala), maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Muslim).

Pengetahuan tentang Romadhon juga sangat penting untuk menghilangkan keraguan. Ia sangat penting untuk menanamkan keyakinan tentang puasa yang sedang kita kerjakan.

Butuh keikhlasan dan kesabaran

Bukankah puasa merupakan rahasia antara hamba dengan Tuhannya? Karena itu puasa akan benar-benar berkualitas, jika dilandasi keikhlasan niat kepada Allah dan merasa selalu dipantau olehnya. Bahkan keikhlasan merupakan bekal yang paling dibutuhkan oleh setiap muslim dalam beramal apapun. Suatu amal atau kepayahan seseorang tidak ada manfaatnya bila sunyi dari keikhlasan. Allah tidak butuh pada amalan yang riya’ dan tidak akan menerima amal kecuali yang diniatkan ikhlas karena-Nya. Allah berfirman dalam QS. Al Bayyinah ayat 5; “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena menjalankan agama, dan juga agar melaksanakan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”

Di samping itu puasa juga harus dilandasi sifat sabar. Kesabaran merupakan sifat yang paling dibutuhkan semua orang dalam menghadapi medan ujian ini. Dengannya manusia dapat mengatasi segala rintangan dan meneruskan perjalanan penghambaannya tanpa kelemahan dan kelesuan. Allah berfirman: “Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat….(Al Baqoroh: 45)

Dengan dua senjata ini maka seseorang yang berpuasa akan dapat mendidik dan membimbing jasad dan jiwanya untuk selalu tunduk kepada Allah dan mengesampingkan kepentingan-kepentingan lainnya yang tidak diridhoi Allah. Dengan demikian, puasa yang dilakukan tidak hanya sekedar menahan diri dari syahwat perut dan kemaluan, namun juga menjauhkan seluruh anggota badan dari segala yang diharamkan oleh Allah swt. Matanya berpuasa dengan tidak melihat sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Telinganya berpuasa dengan tidak mendengarkan ucapan-ucapan yang tidak bermanfaat dan dusta. Lisannya berpuasa dengan tidak mengucapkan kata-kata kotor, ghibah dll. Tangan dan kakinya berpuasa dengan tidak mendatangi tempat-tempat maksiyat. Begitu pula hati berpuasa dengan menghilangkan rasa dengki, iri, dendam dan penyakit hati lainnya. Initnya, seluruh jasad dan jiwa ikut berpuasa menyertai puasanya mulut dan kemaluan. Ini merupakan aspek tarbawi (pendidikan) yang amat penting dalam pribadi muslim.

Senjata keikhlasan dan kesabaran juga menumbuhkan sifat santun (tidak mudah marah) terhadap orang-orang yang biasa mengganggu (jahil). Bila seseorang menantangnya, mencelanya, atau memancing kemarahannya, maka ia menahan amarahnya, berlaku santun dan mengatakan: ”Sesungguhnya saya sedang berpuasa”.

Akhirnya, marilah kita bersiap diri, selagi awal Romadhon masih beberapa hari lagi. Masih ada waktu untuk mengumpulkan bekal. Masih ada waktu untuk bermuhasabah dan merenungi betapa amal sholeh kita selama ini masih sangat sedikit. Walaupun kesadaran semacam ini baru muncul, maka tidak ada kata terlambat untuk segera memulai. Semoga Allah menguatkan hati kita dan menunjukkan jalan yang lurus kepada kita. Amin!
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : BMH Situbondo | PD Hidayatullah Situbondo | LPI Al-Amin
Copyright © 2014. Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Situbondo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger